Pencari Darah untuk Talasemia

Oleh: ADRIAN FAJRIANSYAH

NURJANAH HUSEIN (44) tidak malu menemui kerumunan orang di warung kopi guna sosialisasi soal talasemia, penyakit kelainan darah turunan yang ditandai adanya sel darah merah yang abnormal. Ia tak segan berperan layaknya tukang kredit menawarkan barang, mengajak orang-orang menjadi pendonor darah bagi penderita talasemia.

Ia mengoptimalkan latar belakang pendidikan ilmu ekonomi dan pengalaman sebagai manajer pemasaran untuk merayu orang-orang beramal bagi penderita talasemia.

Totalitas Nurjanah menjadi pencari darah untuk penderita talasemia bermula dari sakit iskemik yang diderita almarhumah ibunya, Zainab Saleh, pada 2011. Zainab harus transfusi darah sebanyak 10 kantong ketika dirawat selama 2 bulan di rumah sakit.

Ketika itu, Nurjanah begitu mudah mendapatkan darah untuk ibunya dalam satu hari. Bahkan, ia mendapatkan darah berlebih, bisa 30 kantong sehingga sisanya disumbangkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Banda Aceh.

”Saya beruntung punya banyak kawan baik yang bersedia cepat membantu,” ujar perempuan yang sering disapa Nunu.

Namun, ada temannya yang mengatakan, masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan darah sekalipun sudah ke PMI.

Hal itu menggugah hati Nunu. Melalui Yayasan Bumiku Hijau, yayasan lingkungan miliknya yang didirikan pada 24 April 2009, ia mengadakan donor darah massal pada hari jadi yayasan tersebut. Ternyata, banyak orang antusias mendonorkan darah, dan banyak orang butuh darah itu.

Dari situ, Nunu berpikir untuk mengadakan aksi donor darah yang lebih berkelanjutkan. Akhirnya, ia bersama teman-temannya berinisiatif membuat komunitas bernama Darah Untuk Aceh (DUA) pada 24 April 2012.

Komunitas ini bertujuan mencari pendonor darah, memfasilitasi orang yang ingin mendonorkan darah, dan mendistribusikan darah itu untuk orang yang memerlukan. Hal itu dilakukan bekerja sama dengan PMI Banda Aceh. DUA melakukan itu secara sukarela atau tanpa imbalan sepeser pun.

”Komunitas ini pun saya dedikasikan untuk almarhumah ibu saya yang telah memberikan banyak inspirasi, yakni walaupun hidup sederhana dan terbatas, sebisa mungkin tetap bisa memberikan manfaat bagi orang lain,” ucap perempuan pemilik rekor 100 kali menyelam ini.

Berkenalan dengan talasemia

Awalnya, DUA hanya diproyeksikan mencari darah dan membantu memenuhi kebutuhan darah di Unit Donor Darah PMI Banda Aceh. Pada perkembangannya, Direktur Unit Donor Darah PMI Kota Banda Aceh, saat itu Ridwan Ibrahim, mengarahkan DUA fokus mencari pendonor darah tetap untuk pasien talasemia.

Nunu mengaku antusias menerima arahan itu. Padahal, ia belum tahu tentang talasemia ketika itu. Namun, karena berniat membantu, Nunu berupaya mengetahui dan memahami talasemia. Ia mencari referensi mengenai talasemia dari internet. Ia pun langsung datang ke Instalasi Sentra Talasemia Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, satu-satunya rumah sakit yang melayani pengobatan penyakit itu di Aceh. Ia tak segan berdiskusi dengan dokter ataupun keluarga penderita talasemia untuk mengetahui dan memahami talasemia.

Dari situ, Nunu tahu, talasemia adalah penyakit kelainan darah genetik yang tidak bisa disembuhkan. Tubuh penderitanya tidak bisa mempertahankan hemoglobin (Hb) dalam darahnya secara normal. Orang normal memproduksi Hb yang bisa bertahan selama 120 hari, sedangkan orang talasemia memproduksi Hb yang hanya bertahan sekitar 30 hari.

Umumnya, orang talasemia memiliki Hb di bawah batas normal, yakni kurang dari 12,5. Padahal, Hb adalah pembawa asupan oksigen dan sari pati makanan ke seluruh tubuh melalui jaringan pembuluh darah. Akibatnya, orang talasemia cenderung mengalami gangguan tumbuh dan kembang, yakni tubuh kerdil dan kemampuan berpikir di bawah rata-rata.

Orang talasemia harus rutin mendapatkan transfusi darah 1-3 bulan sekali. Orang talasemia yang rutin transfusi darah memiliki peluang hidup rata-rata sekitar 20 tahun, sedangkan yang tidak rutin peluang hidupnya rata-rata 8-10 tahun.

Hati Nunu kian tersentuh seiring kian paham dengan fakta-fakta talasemia itu. Apalagi, talasemia belum ada obatnya hingga sekarang. ”Mulai dari situ saya tetapkan hati ingin memfokuskan DUA membantu para penderita talasemia,” tuturnya mengenang.

Pendonor baru

Menurut Nunu, talasemia menjadi fenomena gunung es di Aceh. Angka kejadian talasemia baru mencapai 50 orang per tahun di Aceh. Bahkan, berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2010, Aceh tercatat sebagai provinsi dengan persentase talasemia tertinggi di Indonesia, yakni 13,8 persen.

”Jumlah penderita talasemia sekitar 250 orang yang terdata melakukan pengobatan rutin di RSUDZA Banda Aceh,” ujar alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banda Aceh 1992 ini.

Pertambahan jumlah kejadian talasemia itu tidak sebanding dengan ketersediaan darahnya. Merujuk data PMI Banda Aceh, kebutuhan akan darah harian mencapai 100 kantong per hari di Banda Aceh, termasuk untuk memenuhi kebutuhan penderita talasemia. Namun, ketersediaan darah yang didapat dari pendonor tetap hanya 60 kantong per hari. ”Sisanya keluarga pasien harus berusaha mencari pendonor pengganti,” ucapnya.

Atas dasar itu Nunu, melalui DUA, berupaya mencari pendonor darah tetap yang baru bagi penderita talasemia. Untuk menunjang itu, ia pun membuat program ten for one thalassemia (sepuluh untuk satu talasemia) pada 24 Juni 2012.

Melalui program itu, DUA mencari 10 pendonor tetap baru untuk mendampingi 1 penderita talasemia. Pendonor baru itu dicari dari orang yang belum pernah menjadi pendonor ataupun di luar data PMI Banda Aceh.

”Sepuluh pendonor baru itu dibagi tiga kelompok dan dihubungi setiap tiga bulan sekali untuk melakukan donor rutin bagi penderita talasemia,” katanya.

Nunu menyampaikan bahwa cara ini ampuh untuk menyediakan darah bagi penderita talasemia secara berkelanjutan 1-3 bulan sekali. Selain itu, cara ini memungkinkan penderita talasemia mendapatkan darah yang sama setiap bulan sehingga tubuhnya mudah beradaptasi.

Mantan manajer pemasaran salah satu perusahaan farmasi swasta nasional ini gencar menyosialisasikan talasemia. Salah satunya lewat Twitter @DarahUntukAceh. Ia pun melakukan sesuatu yang unik ketika bersosialisai, seperti memberi istilah blooders untuk pendonor darah dan thallers untuk penderita talasemia.

Sedikit demi sedikit upaya Nunu membuahkan hasil. Jumlah pendonor tetap di DUA terus bertambah dari tahun ke tahun, yakni dari 50 orang pada 2012 menjadi 1.000 orang pada 2014. Pendonor tetap tersebut sebagian besar atau lebih dari 50 persen berasal dari kalangan mahasiswa.

Kegiatan yang dilakukan DUA pun mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, seperti Pendiri Komunitas Menata Keluarga (Emka Land), Melly Kiong. Bahkan, untuk mendukung kegiatan DUA, Melly memberikan sumbangan melalui komunitasnya sebesar Rp 30 juta.

”Upaya DUA mengingatkan masyarakat untuk menghindari pernikahan sesama pembawa gen talasemia adalah salah satu bagian dari menata keluarga Indonesia menjadi lebih baik,” ucap Melly.

Karena kerja-kerjanya, Nunu pernah menjadi finalis Kartini Next Generation Award 2014 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Adapun DUA turut menginspirasi berdirinya Darah Untuk Yogyakarta pada 2012, Darah Untuk Lampung pada 2012, dan Darah Untuk Sumsel (Sumatera Selatan) pada 2013.

—————————————————————————
NURJANAH HUSIEN
♦ Panggilan: Nunu
♦ Tempat tanggal lahir: Lhok Kruet, Aceh Jaya, 24 April 1970
♦ Golongan darah: B+
♦ Pendidikan:
- SD Negeri Lhok Kruet 1976-1982
- SMP Negeri Lhok Kruet 1982-1985
- SMA Negeri Lamno 1985-1988
- Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banda Aceh 1988-1992
♦ Keorganisasian:
- Pendiri Yayasan Bumiku Hijau 2009 hingga sekarang
- Pendiri Darah Untuk Aceh 2012 hingga sekarang
- Sukarelawan Earth Hour Indonesia 2012 hingga sekarang
____
Arsip Media